Tuesday, November 23, 2010

TUGAS JURNAL METODE RISET

FENOMENA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

BAB I - PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Pembangunan ekonomi pedesaan sebagai bagian integral dari Pembangunan Ekonomi Nasional, keberhasilannya banyak disokong oleh kegiatan usahatani. Hal itu merujuk fakta, sebagian besar masyarakat di pedesaan menggantungkan hidupnya dari kegiatan usahatani. Oleh karena itu tidak mengherankan, kegiatan usahatani sering dijadikan indikator pembangunan ekonomi pedesaan. Di dalam praktek usahatani, diperlukan inovasi teknologi guna mendorong peningkatan produktivitas dan produksinya. Kelemahan petani justru pada adopsi inovasi teknologi yang relatif rendah sebagai dampak penguasaan modal usahatani yang lemah. Untuk mengatasi kekurangan modal usahatani, petani biasanya mengusahakan tambahan modal dari berbagai sumber dana baik dari lembaga keuangan formal (perbankan) maupun kelembagaan jasa keuangan non formal. Namun umumnya karena petani sering tidak memiliki akses terhadap lembaga perbankan konvensional, ia akan memilih untuk berhubungan dengan lembaga jasa keuangan informal seperti petani pemodal (pelepas uang) atau mengadakan kontrak dengan pedagang sarana produksi dan sumber lain yang umumnya sumber modal tersebut mengenakan tingkat bunga yang irrasional karena terlalu tinggi dan mengikat. Kondisi demikian berdampak buruk tidak saja bagi petani akan tetapi juga merusak tatanan perekonomian di pedesaan. Berkenaan dengan hal tersebut, keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pertanian akan menjadi salah satu solusinya. LKM pertanian memiliki peran strategis sebagai intermediasi dalam aktifitas perekonomian bagi masyarakat tani yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional. Di lingkungan masyarakat, telah banyak LKM yang menyediakan skim kredit dengan pola yang beragam, namun umumnya bergerak dalam fasilitasi pembiayaan bagi usaha-usaha ekonomi non pertanian.

1.2 MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
(a) sejauhmanakah keberadaan LKM di lingkungan masyarakat pedesaan mampu menjalankan perannya dalam fasilitasi pembiayaan usahatani?
(b) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberlanjutan LKM tersebut
(c) Bagaimanakah strategi pengembangan LKM ke depan yang efektif untuk mendukung usahatani?

1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari pada penelitian ini adalah membahas fenomena LKM dan perspektifnya dalam pembangunan ekonomi pedesaan dengan fokus pada adopsi inovasi pertanian, serta mengunkap faktor-faktor kritis keberhasilan LKM dan menyusun strategi pengembangan LKM ke depan untuk mendukung kegiatan usahatani. Hasil pembahasan akan berguna selain untuk melengkapi wacana LKM yang sudah ada, juga menjadi bahan masukkan dalam penyusunan kebijakan terkait pembangunan ekonomi pedesaan ke depan.

1.4 KERANGKA PEMIKIRAN
Objek Penelitian dikembangkan dari sebagian hasil pengkajian LKM di Jawa dan Luar Jawa, meliputi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan pada awal tahun 2007.
Pengumpulan data primer dari Pengurus LKM terpilih dan nasabah LKM sebagai responden dilakukan melalui diskusi kelompok dan wawancara individual (survey) menggunakan pedoman pertanyaan dan kuesioner. Jenis data primer yang dikumpulkan dari pengurus lebih difokuskan pada kondisi organisasi dan manajemen (O & M), skim kredit, faktor-faktor pendukung, kendala dan peluang pengembangan LKM. Sementara itu dari nasabah, data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik ekonomi rumah tangga dan permasalahan pembiayaan usahatani. Selain data primer dikumpulkan juga data sekunder melalui penelusuran informasi berbagai dokumen laporan kegiatan/program dan kebijakan pengembangan kelembagaan keuangan mikro, geografi, sosial ekonomi, dan review skim kredit Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Penganalisisan data secara garis besar dilakukan secara deskriptif kualitatif, dipertajam dengan analisis Structure Conduct Performance (SCP). Untuk mengungkap perspektif LKM dalam pembangunan ekonomi pedesaan, dilakukan pendekatan pada aspek kekuatan (strenghten), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity ) dan ancaman (threat ) atau disingkat SWOT.


BAB II - LANDASAN TEORI

Bagi Indonesia, keuangan mikro bukan hal baru. Pengelolaannya oleh Lembaga Keuangan Mikro sudah berkembang sejak lama dan telah menjadi topik pembicaraan para pakar dan praktisi ekonomi kerakyatan seperti antara lain Martowijoyo (2002), Sumodiningrat (2003), Budiantoro (2003), Ismawan (2002), Syukur (2002) dan lain-lain. Momentum pembahasan LKM senantiasa terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan, belum secara spesifik sebagai fasilitasi pembiayaan usahatani.

Menurut Wijono (2005), LKM di masyarakat sudah banyak dibentuk dan tersebar mulai dari perkotaan sampai perdesaan, atas prakarsa pemerintah, swasta maupun kalangan lembaga swadaya masyarakat dalam bentuknya yang formal, non formal, sampai informal dengan karakteristiknya masing-masing. Namun LKM tersebut memiliki fungsi yang sama sebagai intermediasi dalam aktivitas suatu perekonomian.

Banyak pihak meyakini LKM sebagai suatu alat pembangunan yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan karena layanan keuangan memungkinkan orang kecil dan rumah tangga berpenghasilan rendah untuk memanfaatkan peluang ekonomi, membangun aset dan mengurangi kerentanan terhadap goncangan eksternal. LKM menjadi alat yang cukup penting untuk mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan (Anonim, 2007).

Menurut Martowijoyo (2002) dan Syukur (2006) gaung peranan kredit mikro untuk penciptaan lapangan kerja mandiri guna mengurangi kemiskinan ini mulai berkembang luas di dunia sejak ikrar Microcredit Summit di Washington DC, 1997. Berkembangnya berbagai skema keuangan mikro dan semakin tingginya kebutuhan akan pengembangan pelayanan jasa keuangan bagi masyarakat miskin mendorong terbentuknya forum Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro (Gema PKM) untuk mengembangkan keuangan mikro sebagai industri agar mencapai masyarakat miskin secara lebih luas. Gema PKM disahkan presiden pada tahun 2000, beranggotakan tujuh pemangku kepentingan yaitu piha pemerintah, lembaga keuangan, LSM, pihak swasta, akademisi atau peneliti, organisasi massa, serta lembaga pendanaan (Anonim, 2007). Walaupun di lingkungan masyarakat telah banyak tumbuh dan berkembang lembaga keuangan yang terlibat di dalam pembiayaan usaha mikro dengan beragam bentuk seperti bank umum atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR), modal ventura, program Pengembangan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK), pegadaian dan sebagainya (Retnadi, 2003). Namun kesenjangan antara permintaan dan penawaran layanan keuangan mikro masih tetap ada. Di sektor pertanian, maraknya LKM di masyarakat itu belum serta merta diikuti oleh pemenuhan kebutuhan permodalan bagi petani. Faktanya, kebutuhan permodalan petani untuk pembiayaan usahatani selalu menjadi persoalan.


BAB III - METODE PENELITIAN

Objek Penelitian dikembangkan dari sebagian hasil pengkajian LKM di Jawa dan Luar Jawa, meliputi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan pada awal tahun 2007.
Pengumpulan data primer dari Pengurus LKM terpilih dan nasabah LKM sebagai responden dilakukan melalui diskusi kelompok dan wawancara individual (survey) menggunakan pedoman pertanyaan dan kuesioner. Jenis data primer yang dikumpulkan dari pengurus lebih difokuskan pada kondisi organisasi dan manajemen (O & M), skim kredit, faktor-faktor pendukung, kendala dan peluang pengembangan LKM. Sementara itu dari nasabah, data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik ekonomi rumah tangga dan permasalahan pembiayaan usahatani. Selain data primer dikumpulkan juga data sekunder melalui penelusuran informasi berbagai dokumen laporan kegiatan/program dan kebijakan pengembangan kelembagaan keuangan mikro, geografi, sosial ekonomi, dan review skim kredit Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Penganalisisan data secara garis besar dilakukan secara deskriptif kualitatif, dipertajam dengan analisis Structure Conduct Performance (SCP). Untuk mengungkap perspektif LKM dalam pembangunan ekonomi pedesaan, dilakukan pendekatan pada aspek kekuatan (strenghten), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity ) dan ancaman (threat ) atau disingkat SWOT.

Monday, November 22, 2010

Motivasi, persepsi, pembelajaran, dan sikap konsumen dalam membeli suatu produk.

Dalam hal motivasi pembelian produk, konsumen memiliki kebutuhan akan pengakuan, penghargaan, atau rasa memiliki. Selain itu, persepsi konsumen terhadap kualitas suatu produk juga mungkin akan memberikan kepuasan kepada pelanggan yang kemudian menciptakan minat bagi pelanggan untuk melakukan pembelian ulang (loyalitas) produk tersebut. Di era globalisasi dan pasar bebas, berbagai jenis barang dan jasa dengan ratusan merek membanjiri pasar Indonesia.

Persaingan antar merek setiap produk akan semakin tajam dalam merebut konsumen.Untuk dapat mengenal, menciptakan dan mempertahankan pelanggan, maka studi tentang perilaku konsumen sebagai perwujudan dari aktivitas jiwa manusia sangatlah penting.

Ada banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dan proses pengambilan keputusannya dalam pembelian suatu barang. Seperti yang dikemukakan oleh Suharto (2001:3), bahwa proses pengambilan keputusan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor sosiokultur (kebudayaan, kelas sosial, kelompok referensi) dan faktor psikologis (sikap, persepsi, motivasi dan gaya hidup).

Proses pengambilan keputusan pembelian memiliki lima tahap sebagaimana yang dikemukakan oleh Kotler (2000:204) yaitu: tahap pengenalan masalah atau kebutuhan, tahap pencarian informasi, tahap evaluasi altematif, tahap keputusan pembelian, dan tahap perilaku pasca pembelian.


Untuk mengetahui dan mengenali konsumen, biasanya dilakukan lewat survey konsumen untuk memetakan dan mengetahui perilaku konsumen.

Motivasi konsumen erat kaitannya dengan yang namanya “keinginan”. Tidak perlu bingung dan berdebat panjang memahami mana yang berupa “keinginan” dan mana yang berupa “kebutuhan” konsumen. Sebab keduanya meski berbeda, namun yang jelas, keduanya mendorong terjadinya pembelian oleh konsumen.

Ketika produk sudah ditargetkan pada segmen tertentu, diposisikan, dan menetapkan pasar sasaran tertentu, maka keberhasilan pemasarannya ditentukan oleh program-program pemasaran selanjutnya. Dan tentunya, program pemasaran ini harus mengakomodasi faktor-faktor yang terkait. Tentunya banyak faktor yang terkait dalam hal ini. Salah satu faktor utama adalah konsumen. Keputusan pembelian, dalam hal ini pertukaran barang atau jasa, merupakan tahapan yang sangat penting. Tahap ini merupakan muara dari pertimbangan-pertimbangan yang mereka lakukan sebelumnya, sekaligus sebagai dasar umpan balik untuk mereka di masa yang akan datang. Keputusan pembelian konsumen ini dapat berupa pilihan mengenai produk atau jasa apa yang mereka beli, merek apa yang akan mereka beli, kapan dan dimana mereka akan membeli, berapa jumlahnya, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan bagaimana mereka melakukan pembelian itu. Didalam menentukan keputusan pembelian inilah, faktor-faktor yang mempengaruhi dalam mengambil keputusan pembeliannya, memberikan pertimbangan-pertimbangan yang akan menentukan keputusan akhirnya. Tentunya ada banyak faktor yang mempengaruhi seorang konsumen dalam mengambil keputusan pembelian. Salah satu dari sekian faktor itu yang sangat menarik dalam mempengaruhi keputusan pembelian konsumen adalah motivasi, persepsi, pembelajaran, dan sikap.

Inilah yang membuat faktor ini menarik untuk diperhatikan. Diantara banyak pengaruh dan komponen yang berinteraksi dalam membentuk suatu perilaku konsumen, keempat faktor ini tentu memberikan kontribusi yang besar secara internal dan individual dalam menentukan keputusan pembelian konsumen pada akhirnya. Sebagai faktor yang tidak dikondisikan oleh pemasar, faktor ini harus dimanfaatkan dengan tepat dengan rangsangan-rangsangan pemasaran yang dapat membangkitkan faktor yang bersifat kejiwaan ini.

Di dalam proses untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya tersebut, tentunya konsumen yang bersangkutan akan mencari informasi yang berkaitan untuk kemudian mengevaluasinya. Kemudian dari informasi-informasi dankonsumen tersebut. Dalam proses inilah faktor-faktor pengaruh psikologis atau internal tadi sangat memegang peranan yang penting untuk memutuskan apakah ia jadi melakukan kegiatan pembelian atau tidak. Tentu saja dengan tidak mengesampingkan faktor-faktor yang lain, dalam hal ini motivasi, persepsi, pembelajaran, dan sikap itu memegang peranan yang sangat penting. alternatif yang telah diperoleh tadi sebelum diputuskan untuk melakukan pembelian atau tidak, sebelumnya, terlebih dahulu hal ini diproses dalam pertimbangan di dalam diri

Dalam pengambilan keputusan pembelian produk tertentu, faktor motivasi, persepsi, pembelajaran, dan sikap dapat memegang peranan yang besar. Dalam proses keputusan pembelian sebelum menentukan untuk melakukan tindakan pembelian suatu produk, konsumen tentu saja memiliki motivasi tertentu yang diharapkan akan tercapai setelah melakukan pembelian. Demikian juga dengan persepsinya akan produk, yang juga menentukan keputusannya, akan sangat tergantung dari penginterpretasian stimuli, situasi dan informasi yang didapatkan.Selain hal itu proses pembelajaran juga memegang peranan yang penting mengingat ketika akan memutuskan pembelian, tentu saja tidak lepas dari pengalaman dan proses mengenal suatu produk itu baik pengetahuan yang berasal dari pengalaman dia sendiri maupun pengalaman orang lain. Sikap tidak kalah pentingnya, mengingat ini menyangkut tanggapan seseorang terhadap suatu obyek, yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keputusan pembeliannya.

Melihat pentingnya faktor motivasi, persepsi, pembelajaran, dan sikap inilah, diperlukan pengetahuan yang tepat mengenai pengaruh keempat faktor ini terhadap keputusan pembelian suatu produk. Seperti yang telah dijelaskan diatas, keberhasilan seorang pemasar sangat ditentukan oleh program pemasarannya, dimana salah satu hal mendasar yang harus selalu diingat oleh seorang pemasar ialah orientasi pada konsumen, karena tentu setiap program pemasaran selalu bertumpu pada konsumen mereka.

Dalam memahami prilaku konsumen tentu tidak mudah karena konsumen mempunyai sifat yang berbeda-beda sebagaimana dari kebutuhan manusia yang tidak terbatas disamping dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal lainnya yang berakibat langsung terhadap prilaku konsumen. Faktor eksternal yang dimaksud meliputi kebudayaan, sub budaya,kelas social,kelompok social, kelompok referensi, dan keluarga. Sedangkan factor internal adalah factor yang ada pada diri konsumen itu sendiri (psikologis) yang meliputi: belajar, kepribadian, dan konsep diri,serta sikap (Stanton,1996:155). Oleh sebab itu konsumen harus dapat mengendalikan perubahan perilaku tersebut dengan berusaha mengimbanginya, yakni dengan mempengaruhi konsumen dalam membeli produk yang ditawarkan dan melalui evaluasi berkala demi kelangsungan hidup produsen itu sendiri. Proses pembelian dimulai saat pembeli mengenali sebuah masalah atau kebutuhan. Pembeli merasakan perbedaan antara keadaan aktualnya dengan keadaan yang diinginkannya. Kebutuhan umum seseorang seperti lapar, haus, saat mencapai titik tertentu dapat menjadi sebuah dorongan. Kebutuhan juga dapat ditimbulkan oleh rangsangan eksternal seperti ketika seseorang melihat iklan mobil dan ingin membelinya. Dengan mengumpulkan informasi dari sejumlah konsumen, pemasar dapat menidentifikasi rangsangan yang paling sering membengkitkan minat akan suatu jenis produk. Pemasar kemudian dapat membangkitkan strategi pemasaran yang memicu minat konsumen.

Saat seseorang mulai menyadari kebutuhannya, maka pilihan produk dan merk harus diidentifikasi untuk memenuhi kebutuhanya. Dalam mencari berbagai alternative pilihan untuk memuaskan kebutuhan, seorang konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti beberapa banyak biaya waktu, berapa banyak informasi dari masa alalu dan sumber-sumber lain yang sudah dimiliki oleh konsumen. Yang menjadi minat utama pemasar adalah sumber-sumber informasi utama yang menjadi acuan konsumen dan pengaruh relative dari tiap sumber tersebut terhadap kepuasan pembelian selanjutnya. Sewcara umum konsumen mendapatkan informasi tentang suatu produk dari sumber komersial yaitu sumber yang didominasi oleh pemasar. Jika samua alternative yang wajar telah diidentifikasikan, konsumen harus mengevaluasinya satu per satu sebagai persiapan untuk mengadakan pembelian. Kriteria evaluasi yang dipakai konsumen mencakup pengalaman masa lalu dan sikap terhadap aneka merk. Konsumen juga mendengarkan tanggapan-tanggapan keluarga dan kelompok lain. Beberapa konsep dasar akan dapat membantu pemasar dalam memahami proses evaluasi konsumen. Pertama, konsumen berusaha memenuhi suatu kebutuhan. Kedua, konsumen mencari manfaat tertentu dari suatu produk. Ketiga, konsumen memandang setiap produk sebagai sekumpulan atribut dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang dicari untuk memuasakan kebutuhan. Setelah mencari dan mengvaluasi berbagai alternative untuk memenuhi kebutuhan, konsumen pada titik tertentu harus memutuskan antara membeli atau tidak membeli, jika keputusan yang diambil adalah membeli, konsumen harus membuat rangkaian keputusan yang menyangkut merk, harga, tempat penjualan, warna, dan lain-lain. Saat membeli suatu produk,bagi seorang konsumen akan mengalami tingkat kepuasan dan ketidakpuasan tertentu. Perasaan konsumen setelah malakukan pembelian dapat mempengaruhi pembelian ulang dan juga ditambah dengan apa yang dikatakan oleh konsumen kepada teman atau kerabat tentang produk tersebut.Biasanya konsumen akan mengalami kecemasan purnabeli,kecemasan ini disebut disonasi kognitif purnabeli yang terjadi karena setiap alternative yang dihadapi konsumen memiliki kelebihan dan kekurangan.

source: http://is.gd/hD1fp

Thursday, November 4, 2010

REVIEW JURNAL

Review Jurnal 3


Tema :
LEMBAGA KEUANGAN NON BANK UNTUK PEMBERDAYAAN UKM

Masalah : permasalahan permodal bagi pembiayaan usaha UKM

Judul :
PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK UNTUK PEMBERDAYAAN UKM

Penulis : -
Tahun Penulisan : -

Latar Belakang Masalah:
Penelitian ini berangkat dari latar belakang bahwa Jawa Timur mempunyai
andil yang cukup besar terhadap perkembangan ekspor nasional rata-rata berkisar
USD 5 milyar dengan kontribusi 11 % - 12 % dari ekspor nasional. Melalui kapasitas
industri besar, menengah dan kecil yang tersedia cukup besar maka suatu saat Jawa
Timur bias menjadi jaringan inter provinsi yang bisa memberikan sumbangan terbesar
setelah ekspor non migas. Tidak berlebihan Jawa Timur bisa memberi akses ke seluruh
provinsi terhadap barang-barang yang dihasilkan pelaku bisnis sektor riil dan non formal
(seperti : sektor hortikultura, perikanan, pertanian, perkebunan dan kerajinan).

Tujuan :
(1) Mengetahui peran Lembaga Keuangan
Non Bank dalam membantu pengembangan UKM
(2) Menemukan model Lembaga
Keuangan Non Bank yang dapat dikembangkan dalam mendukung pembiayaan UKM.

Metodologi
Untuk tercapainya output yang diinginkan maka metode pengumpulan data
dilakukan melalui observasi langsung; koleksi data sekunder; survey baik dengan
wawancara maupun kuesioner kepada pihak-pihak terkait. Sedangkan teknik analisa
data yangdigunakan adalah dengan menggunakan analisa interaktif kwantitatif dan
kualitatif. Objek kajian adalah lembaga-lembaga keuangan non Bank, sedangkan
lokasi penelitian berada di kabupaten Pasuruan, Situbondo, Bondowoso dan Jember.

Hasil penelitian:

Dari temuan penelitian diperoleh hasil bahwa Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang ada di lokasi penelitian dananya bersumber dari pemerintah, koperasi; joint ventura; dana pensiun; dana ansuransi; pasar modal; reksa dana; pengadaian dan lainnya.

REVIEW JURNAL

Review Jurnal 2
Tema :
PERAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN
Masalah :
sulitnya mengakses lembaga keuangan konvensional untuk mendapat modal
Judul :
FENOMENA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

Penulis :
Rachmat Hendayana dan Sjahrul Bustaman
Tahun Penulisan : -
Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi pedesaan sebagai bagian integral dari Pembangunan
Ekonomi Nasional, keberhasilannya banyak di sokong oleh kegiatan usahatani. Hal itu
merujuk fakta, sebagian besar masyarakat di pedesaan menggantungkan hidupnya dari
kegiatan usahatani. Oleh karena itu tidak mengherankan, kegiatan usahatani sering
dijadikan indikator pembangunan ekonomi pedesaan.
Di dalam praktek usahatani, diperlukan inovasi teknologi guna mendorong
peningkatan produktivitas dan produksinya. Kelemahan petani justru pada adopsi inovasi
teknologi yang relatif rendah sebagai dampak penguasaan modal usahatani yang lemah.
Untuk mengatasi kekurangan modal usahatani, petani biasanya mengusahakan tambahan
modal dari berbagai sumber dana baik dari lembaga keuangan formal (perbankan) maupun
kelembagaan jasa keuangan non formal. Namun umumnya karena petani sering tidak
memiliki akses terhadap lembaga perbankan konvensional, ia akan memilih untuk
berhubungan dengan lembaga jasa keuangan informal seperti petani pemodal (pelepas
uang - rentenir), atau mengadakan kontrak dengan pedagang sarana produksi dan sumber
lain yang umumnya sumber modal tersebut mengenakan tingkat bunga yang irrasional
karena terlalu tinggi dan mengikat. Kondisi demikian berdampak buruk tidak saja bagi
petani akan tetapi juga merusak tatanan perekonomian di pedesaan.
Tujuan
1. membahas fenomena LKM dan perspektifnya dalam
pembangunan ekonomi pedesaan dengan fokus pada adopsi inovasi pertanian, serta
mengungkap faktor-faktor kritis keberhasilan LKM dan menyusun strategi pengembangan
LKM ke depan untuk mendukung kegiatan usahatani.
2. menjadi bahan masukan dalam penyusunan kebijakan terkait pembangunan
ekonomi pedesaan ke depan.

Metodologi
Hasil dan Kesimpulan
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari LKM di Bogor, yang meliputi data tentang data berapa rupiah yang terlah tersalurkan sejak 1989 - 2007 yaitu sebesar 12 milyar dan lain sebagainya

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa;
(1) Keberadaan LKM diakui masyarakat memiliki peran strategis sebagai intermediasi
aktivitas perekonomian yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga
perbankan umum/bank konvensional

(2) Secara faktual pelayanan LKM telah menunjukkan keberhasilan, namun
keberhasilannya masih bias pada usaha-usaha ekonomi non pertanian. Skim
perkreditan LKM untuk usahatani belum mendapat prioritas, hal itu ditandai oleh
relatif kecilnya plafon (alokasi dana) untuk mendukung usahatani, yakni kurang dari
10 % terhadap total plafon LKM;

(3) Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek
legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, dukungan seed capital, kelayakan
ekonomi usaha tani, karakteristik usahatani dan bimbingan teknis nasabah/pengguna
jasa layanan LKM;

REVIEW JURNAL

Review Jurnal 1

Tema :

PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

Masalah :

UPAYA MEMUTUS MATA RANTAI KEMISKINAN

Judul : PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SEBAGAI SALAH SATU PILAR SISTEM KEUANGAN NASIONAL: UPAYA KONKRIT MEMUTUS MATA RANTAI KEMISKINAN 

Penulis : Wiloejo Wirjo Wijono

Tahun Penulisan : November 2005 

Latar Belakang Masalah

Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tidak terlepas dari perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peranan UMKM terutama sejak krisis moneter tahun 1998 dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja. Kinerja UMKM dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan besaran Produk Domestik Bruto yang diciptakan UMKM dalam tahun 2003 mencapai nilai Rp 1.013,5 triliun (56,7 persen dari PDB). Jumlah unit usaha UMKM pada tahun 2003 mencapai 42,4 juta, sedangkan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini tercatat 79,0 juta pekerja. Pertumbuhan PDB UMKM periode 2000 – 2003 ternyata lebih tinggi daripada total PDB, yang sumbangan pertumbuhannya lebih besar dibandingkan dengan Usaha Besar.



Tujuan
Tujuan yang diinginkan dalam tulisan ini meliputi:
1. Menganalisis peranan LKM sebagai sumber pembiayaan UKM,
2. Menganalisis potensi dan permasalahan LKM yang dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan di masa depan, yang memungkinkan menjadi salah satu pilar sistem keuangan nasional.

Metodologi
Data yang digunakan dalam tulisan ini bersumber dari publikasi Badan Pusat Statistik, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bank Indonesia, Pegadaian, Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) serta sumber lainnya yang terkait. Sementara alat analisis yang dipakai adalah bersifat deskriptif. Studi kepustakaan, baik yang berasal dari buku teks maupun jurnal/majalah merupakan sumber yang sangat penting, begitu pula diskusi dengan teman seprofesi guna mempertajam analisisnya.

Hasil dan Kesimpulan
kesimpulan yang bisa diketengahkan adalah sebagai berikut:
1. Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, antara lain dengan memperluas akses Usaha Kecil dan Mikro (UKM) dalam mendapatkan fasilitas permodalan yang tidak hanya bersumber dari lembaga keuangan formal tapi juga dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM),
2. LKM ternyata mampu memberikan berbagai jenis pembiayaan kepada UKM walaupun tidak sebesar lembaga keuangan formal, sehingga dapat menjadi alternatif pembiayaan yang cukup potensial mengingat sebagian besar pelaku UKM belum memanfaatkan lembaga-lembaga keuangan,
3. Potensi yang cukup besar tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena LKM masih menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan antara lain aspek kelembagaan yang tumpang tindih, keterbatasan sumber daya manusia dalam pengelolaan LKM dan kecukupan modal,
4. Upaya untuk menguatkan dan mengembangkan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional, diantaranya yang mendesak adalah menuntaskan RUU tentang LKM agar terdapat kejelasan dalam pengembangan LKM. Serta komitmen pemerintah dalam memperkuat UKM sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengembangan LKM